Pages

Self-Test Elektronika Telekomunikasi

Kamis, 06 April 2017
Hal 107-108
12.    Linear power amplifiers are used to raise the power level of Low Level AM and SSB Signals.
13.    A MOSFET power amplifier is used to increase the power level of an FM signal.
14.    Linear power amplifier operate class A, B, and AB.
15.    A class A transistor power amplifier has an efficiency of 50 percent. The output power is 27W. The power dissipated in the transistor is 13.5 W.
16.    Class A amplifier conduct for 360 degrees of a sine wave input.
17.    True or false. With no input, a class B amplifier does not conduct. FALSE
18.    Class B RF power amplifiers normally used a(n) Broadband configuration.
19.    A class C amplifier conducts for approximatly 90 degrees to 150 degrees of the input signal.
20.    In a class C amplifier, collector current flows in the form of positive pulses.
21.    In a class C amplifier, a complete sinusoidal output signal is produced by a(n) Timed Circuit.
22.    The efficiency of a class C amplifier is in the range of 60 to 85 percent.
23.    The tuned circuit in the collector of a class C amplifier acts as a filter to eliminate Induced Voltage.
24.    A class C amplifier whose output tuned circuit resonates at some integer multiple of the input frequency is called a(n) Flywheel effect.
25.    Frequency multipliers with factors of 2, 3, 4, and 5 are cascaded. The input is 1.5MHz. The output is 120 MHz.
26.    A class C amplifier has DC supply voltage of 28 V and an average collector current of 1.8A. The power input is 50.4 W.

Hal. 150-151
53.  RF amplifier provide initial RF Amplifier and Mixer in a receiver but also add Related Tune Circuits.
54.  A low-noise transistor preferred at microwave frequencies is the FET made of Metal Semiconductor.
55.  Most of the gain and selectivity in a superhet is obtained in the IF amplifier.
56.  The selectivity in an IF amplifier is usually produced by using Ferrite-core transformers between stages.
57.  The bandwidth of a double-tuned transformer depends upon the degree of coupling between primary and secondary windings.
58.  In a double-tuned circuit, minimum bandwidth is obtained with under coupling, maximum bandwidth with critical coupling and peak output with over or optimum coupling.
59.  An IF amplifier that clips the positive and negative peaks of a signal is called a(n) limiter.
60.  Clipping occurs in an amplifier because the transistor is driven by a high-level signal into Single transistor stage.
61.  The gain of a bipolar class A amplifier can be varied by changing the positive peaks and negative peaks.
62.  The overall RF-IF gain of a receiver is approximately 89 dB.
63.  Using the amplitude of the incoming signal to control the gain of the receiver is known as AGC Voltage gen.
64.  AGC circuits vary the gain of the IF amplifier.
65.  The DC AGC Voltage is derived from a(n) AGC circuit connected to the demodulator or IF output.
66.  Reverse AGC is where a signal amplitude increase causes a(n) AGC Voltage in the IF amplifier collector current.
67.  Forward AGC uses a signal amplitude increase to positive voltage the collector current,which decreases the IF amplifier gain.
68.  The AGC of a differential amplifier is produced by controlling the current produced by the Constant Current Source transistor.
69.  In dual-gate MOSFET IF amplifier, the dc AGC Voltage is applied to the R1 to gate 2.
70.  Another name for AGC in an AM receiver is Dual Gate MOSFET.
71.  In an AM receiver, the AGC voltage is derived from the IF Signal.
72.  Large input signals cause the gain of a receiver to be reduced by the AGC.
73.  An AFC circuit corrects for frequency drift in the feedback control circuit.
74.  The AFC DC control voltage is derived from the output of the demodulator circuit in a receiver.
75.  A(n) Demodulator is used in an AFC circuit to vary the LO frequency.
76.  A circuit that blocks the audio until a signal is received is called a(n) squelch circuit.
77.  Two types of signals used to operate the squelch circuit are audiotone and audiosignal.
78.  In a CTCS system, a low-frequency frequency tone is used to trigger the squelch circuit.

79.  A BFO is required to receive CWCode and SSB Signals.
Read more ...

Amplifier Pada Transmitter dan Receiver

Rabu, 05 April 2017
Amplifier Pada Transmitter
Ada 2 macam amplifier yang digunakan di transmitter, yaitu linear dan kelas C. Linear menghaslikan sinyal output yang proporsional dengan inputnya tetapi dengan daya (power) yang lebih tinggi. Semua amplifier audio bersifat linear. Pada aplikasi RF, RF amplifier digunakan untuk meningkatkan daya dari sinyal amplitudo termodulasi, seperti AM berdaya rendah atau sinyal SSB. Pada sinyal frekuensi termodulasi lebih efisien menggunakan amplifier kelas C.

Amplifier linear beroperasi pada 3 kelas, yaitu A, AB, dan B. Amplifier Kelas A bekerja secara terus menerus. Titik kerja transistor berada di tengah kurva linear. Sehingga, outputnya merupakan penguatan linear dari sinyal inputnya. Dengan kata lain, amplifier kelas A bekerja pada 3600 sinyal inputnya.

Amplifier kelas B dibiaskan pada titik cut-off sehingga arus dari terminal kolektor tidak mengalir jika tidak ada sinyal input. Transistor bekerja hanya selama ½ siklus sinyal sinus inputnya atau selama 1800. Ini berarti transistor hanya menguatkan setengah bagian inputnya. Biasanya, 2 amplifier kelas B dikonfigurasikan dengan susunan push-pull sehingga bagian positif dan negatif sinyal inputnya dikuatkan secara bersamaan.

Amplifier kelas AB dibiaskan sedikit di atas daerah cut-off. Amplifier kelas AB akan bekerja selama lebih dari ½ siklus tetapi kurang dari 1 siklus sinyal inputnya. Biasanya juga disusun dengan konfigurasi push-pull dan menghasilkan linearitas yang lebih baik daripada amplifier kelas B, tetapi dengan efisiensi yang lebih rendah.

Amplifier kelas A sangat tidak efisien. Maksimum efisiensinya hanya 50%. Ini berarti hanya 50% daya DC yang dikonversi menjadi RF, sisanya terdisipasi pada transistor. Amplifier ini cocok digunakan sebagai amplifier tegangan sinyal rendah atau amplifier berdaya rendah. Kelas B dan C lebih efisien karena arus mengalir hanya pada sebagian kecil sinyal inputnya, dimana Kelas C merupakan yang paling efisien. Kedua kelas tersebut menghasilkan distorsi, maka amplifier kelas B disusun secara push-pull, sementara kelas C menggunakan rangkaian resonansi LC untuk mengeliminasi distorsi.

Sebuah Amplifier buffer kelas A sederhana dapat dilihat pada gambar 1. di bawah. Sebuah osilator terhubung dengan input. Titik bias pada transistor didapat dari R1, R2, R3. Terminal kolektor terhubung dengan rangkaian resonansi LC. Buffer seperti ini biasanya beroperasi pada daya kurang dari 1W.
Gambar 1. Amplifier RF Kelas A.

Sebuah amplifier berdaya tinggi ditunjukkan pada gambar 2. di bawah. Input RF dari sebuah sumber 50Ω terhubung dengan terminal bias melalui rangkaian matching-impedance yang terdiri dari C1, C2, dan L1. Kemudian output dihubungkan dengan rangkaian impedance-matching L2, L3, dan C4, sehingga output memiliki impedansi yang sama dengan inputnya. Ketika terhubung dengan heat sink yang pas, transistor dapat menghasilkan tegangan 100W. Amplifier didesain untuk bekerja pada frekuensi tertentu yang diatur oleh rangkaian input dan output tertala.
Gambar 2. Amplifier RF Kelas A Berdaya Tinggi
2 atau lebih transistor dapat dihubungkan secara parallel untuk menghasilkan daya yang lebih banyak. Amplifier kelas B yang menggunakan konfigurasi push-pull ditunjukkan pada gambar 3. di bawah. Sinyal driving RF masuk menuju transistor Q1 dan Q2 melalui trafo T1. Trafo T1 membagi sinyal input menjadi 2 sinyal yang berbeda fasa sebesar 180­0. Lalu, trafo T2 menyalurkan daya ke antenna atau beban.
Untuk operasi kelas B, Q1 dan Q2 memiliki titik bias pada titik cutoff. Transistor tidak akan bekerja jika Vbe tidak bernilai lebih dari +0.7 V atau kurang dari -0.7V. Ketika siklus sinyal input bernilai positif, Q2 akan cutoff, tetapi Q1 akan bekerja dan menguatkan bagian positif sinyal input. Arus kolektor akan mengalir pada bagian atas dan menuju trafo T2. Ketika siklus sinyal input bernilai negatif, Q1 akan cutiff, tetapi Q2 akan bekerja dan menguatkan bagian negatif sinyal input. Arus akan mengalir pada bagian bawah dari T2. Kemudian T2 akan menyatukan output dari masing-masing transistor, sehingga sinyal output menjadi satu siklus penuh.
Gambar 3. Amplifier Kelas B dengan Konfigurasi Push-Pull.

Sebuah amplifier dengan konfigurasi push-pull berbeda dapat dilihat pada Gambar 4. Amplifier ini menggunakan 2 buah transistor MOSFET dan dapat menghasilkan sebuah output dengan daya 1 kW pada rentang 10 – 90 MHz dan gain sebesar 12 dB. Trafo toroidal digunakan pada bagian input dan output untuk penyamaan impedansi. Induktor 20 nH dan resistor 20Ω membentuk rangkaian netralisasi untuk mencegah osilasi sendiri (self-oscillation).

Amplifier kelas C merupakan komponen kunci pada transmitter AM dan FM. Amplifier ini digunakan untuk penguatan daya pada driver, frequency multiplier, dan amplifier akhir. Transistor pada amplifier kelas C aktif selama kurang dari 1800 inputnya. Biasanya memiliki sudut konduksi sebesar 900 – 1500.

Gambar 4(a). menunjukkan pembiasan pada amplifier kelas C. Terminal basis transistor terhubung ke ground melalui resistor. Sinyal RF yang akan dikuatkan langsung masuk menuju terminal basis. Transistor akan bekerja pada bagian siklus positif jika tegangan inputnya lebih dari +0.7 V, dan transistor akan cutoff jika tegangan inputnya lebih kecil dari +0.7 V.  Ketika sinyal input menuju transistor, arus kolektor tidak akan mengalir sampai tegangan Vbe +0.7 V. Ini ditunjukkan pada gambar 4(b). Hasilnya adalah arus kolektor akan mengalir melalui transistor dalam pulsa positif untuk kurang dari 1800 sinyal positif inputnya.
Gambar 4. Menggunakan Ambang Internal Base-Emitter untuk Pembiasan Kelas C.

Amplifier kelas C mempunyai sebuah rangkaian tertala paralel yang terhubung dengan kolektor seperti pada gambar 5. Tujuan rangkaian tertala ini adalah untuk membentuk sebuah sinyal output sinus yang lengkap. Rangkaian ini akan beresonansi pada frekuensi resonansinya kapanpun rangkaiannya menerima sebuah pulsa DC. Pulsa ini akan mengisi kapasitor. Medan magnet pada inductor akan meningkat dan jatuh, menghasilkan tegangan induksi. Tegangan induksi ini kemudian akan mengisi kembali kapasitor tetapi dengan arah yang berlawanan. Pertukaran energy antara inductor dan kapasitor dinamakan flywheel effect dan menghasilkan gelombang sinus teredam pada frekuensi resonansi. Meskipun arus mengalir melalui transistor dalam pulsa pendek, output dari amplifier kelas C akan berupa gelombang sinus yang kontinu.
Gambar 5. Operasi Amplifier Kelas C

Salah satu alasan mengapa amplifier kelas C lebih cocok digunakan untuk penguatan sinyal RF dibanding amplifier kelas A dan B adalah kelas C memiliki efisiensi yang tinggi. Karena arus mengalir kurang dari 1800 siklus input ac-nya, nilai rata-rata arus pada transistor relative kecil, artinya daya yang terdisipasi oleh amplifier ini juga kecil. Sebuah amplifier kelas C berfungsi seperti saklar transistor yang mati selama lebih dari 1800 siklus inputnya. Transistor bekerja selama antara 900 sampai 1500 siklus inputnya. Selama transistor bekerja, nilai impedansi emitter-kolektornya sangat kecil. Meskipun arus puncaknya tinggi, total disipasi daya lebih rendah dibandingkan pada kelas A dan kelas B. Untuk alasan ni, lebih banyak daya DC yang dikonversi menjadi RF dan diteruskan ke beban, biasanya berupa antenna. Efisiensi pada amplifier kelas C berkisar pada 60% sampai 85%.

Receiver yang menggunakan frekuensi di atas 100 MHz, biasanya menggunakan amplifier RF. Tujuannya adalah untuk menguatkan amplitude sinyal lemah yang nanti akan masuk ke mixer. Amplifier RF pada receiver biasanya adalah kelas A dan menggunakan transistor FET atau transistor bipolar pada rangkaiannya, seperti yang ditunjukkan pada gambar 6.

Gambar 6. Amplifier RF Pada Receiver.

Rangkaian FET umumnya efektif karena impedansi inputnya yang tunggu meminimalisasi pemuatan pada rangkaian tertala, dengan demikian mengizinkan Q pada rangkaian menjadi lebih tinggi dan selektivitas lebih tajam.

Bagian penting lainnya dari receiver superheterodyne adalah amplifier IF. Amplifier IF adalah suatu amplifier dimana mayoritas gain dan selektivitas didapatkan. Pemilihan sebuah amplifier IF sangat berpengaruh terhadap desain dari receiver. IF merupakan perpaduan antara selektivitas dan stabilitas yang bagus, yang didapatkan pada frekuensi rendah, dan image rejection yang bagus, yang didapatkan pada frekuensi tnggi.

Seperti amplifier RF, amplifier IF merupakan amplifier kelas A tertala yang dapat menghasilkan gain dalam rentang 10 – 30 Db. Biasanya 2 atau lebih amplifier IF digunakan untuk menghasilkan receiver gain yang memadai. Pada gambar 7. trafo berinti ferrite digunakan untuk coupling antara stage. Kebanyakan amplifier IF menggunakan transistor bipolar. Selektivitas pada amplifier IF diperoleh dari rangkaian tertala. Rangkaian tertala cascading menyebabkan keseluruhan bandwidth rangkaian menjadi lebih sempit.

Gambar 7. Two-stage Amplifier IF.

Pada receiver FM, digunakan 1 atau lebih amplifier IF sebagai limiter. Limiter berfungsi untuk menghilangkan berbagai variasi amplitude pada sinyal FM sebelum masuk ke demodulator. Namun, semua amplifier akan bertindak sebagai limiter jika sinyal input cukup tinggi. Dengan sinyal input yang sangat besar diberikan ke sebuah transistor, transistor akan didorong antara saturasi dan cutoff. Sebagai contoh, pada amplifier kelas A bipolar, memberikan sinyal input positif yang sangat besar akan menyebabkan bias pada basis transistor meningkat, dengan demikian arus kolektor akan meningkat. Ketika diberikan jumlah tegangan input yang cukup, transistor akan aktif secara maksimum dimana basis-emitter dan basis-kolektor menjadi forwad bias. Pada titik ini, transistor akan tersaturasi dan tegangan antara basis dan kolektor menurun sampai kurang dari 0.1 V. Pada saat tersebut, output amplifier biasanya sama dengan tegangan jatuh DC sepanjang resistor emitter yang mungkin digunakan pada rangkaian.

Cara yang lebih efektif untuk sinyal yang besar adalah dengan menyertakan rangkaian Automatic Gain Control (AGC). AGC adalah sebuah system umpan balik yang secara otomatis mengatur penguatan pada receiver berdasarkan amplitude sinyal yang diterima. Level sinyal yang sangat rendah menyebabkan gain receiver menjadi tinggi. Sinyal input yang tinggi menyebabkan gain pada receiver berkurang.

Penggunaan AGC menghasilkan receiver mempunyai jangkauan dinamis yang lebar (dynamic range). Dynamic range adalah pengukuran kemampuan receiver untuk menerima sinyal yang sangat kuat dan sangat lemah tanpa menyebabkan distorsi dan merupakan perbandingan sinyal terbesar yang dapat ditangani antara sinyal terendah, satuannya adalah decibel. Dynamic range pada receiver dengan AGC biasanya adalah 60-100 Db.

Gambar 8. menunjukkan 2 cara menerapkan AGC ke sebuah amplifier IF. Gambar 8(a). merupakan reverse AGC. Bias common emitter pada amplifier IF didapatkan dari pembagi tegangan R1 dan R2 dan resistor emitter R3. Resistor R4 menerima tegangan DC negative dari rangkaian AGC. Jika level amplitudo sinyal meningkat, tegangan DC negative juga meningkat.

Rangkaian pada gambar 8(b) merupakan forward AGC. Forward AGC mirip dengan reverse AGC, tetapi biasnya didapatkan dari emitter resistor R1 dan rangkaian AGC itu sendiri. Pada kasus ini, tegangan DC AGC adalah positif yang mana berfungsi untuk mengatur level bias. Sebuah sinyal yang kuat akan meningkatkan tegangan positif, karena itu, arus kolektor dan arus emitter akan meningkat. Ini akan mengurangi gain pada rangkaian.


Gambar 8. Metode Menerapkan AGC Ke Sebuah Amplifier IF.

Rangkaian pengontrol umpan balik lainnya yang mirip dengan AGC yang digunakan pada receiver frekuensi tinggi adalah Automatic Frequency Control (AFC). Tujuan dari AFC adalah menjaga LO pada frekuensinya. Pada receiver yang beroperasi pada frekuensi di atas 100 MHz, timbul masalah pada kestabilan osilator. Perubahan frekuensi osilator terjadi karena perubahan suhu. Meskipun osilator dapat diatur pada frekuensi tertentu, tetapi frekuensi tersebut dapat bergeser karena perubahan suhu atau kondisi lainnya. Jika frekuensi bergeser terlalu jauh, mixer tidak akan mengkonversi sinyal yang masuk menjadi nilai IF yang pas. Hasilnya adalah sinyal yang diinginkan tidak akan diambil atau receiver mengalami mistuned sehingga hanya sebagian kecil sinyal yang dapat lewat. Hal ini dapat mengakibatkan distorsi.

Pada kebanyakan radio FM dan TV, terdapat rangkaian AFC. Biasanya pada penerima FM, disediakan sebuah saklar yang dapat menghidupkan atau mematikan AFC. Untuk hasil terbaik, penyeteman dilakukan dengan AFC mati. Ini memungkinkan kita menyetem sinyal pada frekuensi yang pas. Rangkaan AFC membetulkan error yang terjadi pada penyeteman. Ketika ini terjadi, rangkaian AFC tidak beroperasi di bagian tengah rentangnya. Karena itu, AFC tidak dapat melakukan koreksi pada frekuensi lebar. Dengan melakukan proses penyeteman terlebih dahulu dan mendapatkan sinyal pada kanal dan kemudian menghidupkan AFC, control frekuensi rentang penuh didapatkan. Radio FM dan TV keluaran terbaru tidak membutuhkan AFC karena radio FM dan TV menggunakan sintesis frekuensi untuk penyetemannya.

Rangkaian lainnya yang sering ditemukan pada receiver adalah squelch circuit. Squelch circuit adalah sebuah rangkaian yang membuat amplifier audio dimatikan sampai sinyal RF muncul pada bagian input receiver. Jika sinyal RF muncul, amplifier audio akan aktif. Gambar 9. Menujukkan konsep dasar dari squelch circuit. Kehadiran sinyal pada input dideteksi dengan memantau garis tegangan AGC. Tegangan AGC dikuatkan oleh sebuah amplifier DC dan diberikan kepada basis transistor Q1 yang bertindak sebagai switching inverter.

Ketik tidak ada sinyal input, tegangan AGC akan mendekati nilai 0. Output amplifier DC akan rendah, dan Q1 tidak akan aktif. Sebagai hasilnya Q2 diaktifkan oleh arus basis melalui R1. Karena Q2 bertindak seperti rangkaian arus pendek, Q2 akan men-shunt sinyal audio pada kolektor Q3 ke ground melalui diode D1. Hasilnya, sinyal audio dari detector tidak dapat melalui bagian stages, dan speaker akan diam.

Ketika sinyal RF diterima, output dari amplifier DC bertegangan positif tinggi, Q1 akan aktif dan Q2 tidak aktif. Ini memungkinkan amplifier audio Q3 beroperasi normal dan melewatkan sinyal menuju speaker.

Frekuensi Transisi Gain Unity
Frekuensi transisi gain unity adalah frekuensi­­­­­ dimana besarnya penguatan sama dengan unity, atau 0 Db. Frekuensi transisi-nya tidak bergantung pada β0, maka relative konstan bagi suatu tipe transistor yang diberikan untuk kondisi pengoperasian tertentu. Parameter frekuensi wt paling sering ditentukan pada lembaran data transistor untuk sederet kondisi pengoperasian.
Jika resistansi bulk kolektor yang dilambangkan di sini dengan rc’c penting,artinya, maka pengaruh
dari kapasitansi base kolektor-nya diperbesar dengan apa yang disebut Miller effect. Sehingga rumusnya adalah:

Amplifier Common-Emitter (CE)
C3 dan C4 pada amplifier Common-Emitter adalah kapasitor pemblokir dc dengan reaktansi yang dapat diabaikan pada frekuensi tinggi. Resistor bias Rbias memasok arus bias ke basis, dan ini dapat juga dianggap mempunyai pengaruh yang dapat diabaikan terhadap kinerja frekuensi tinggi. Sumber sinyalnya ditunjukkan sebagai pembangit arus ekivalen Is dan Rs. Gainnya dapat ditulis sebagai:

Amplifier Common-Base
Efek kapasitor umpan balik Ccb’ dapat dinul-kan sama sekali dengan menghubungkan transistor dalam konfigurasi commn-base. Dengan ragam pegoperasian ini, Ccb’, tampak paralel dengan kapasitansi output Cc dan karena itu tidak menyumbang kepada kapasitansi input. Input resistansinya α0/gm di mana α0 = β0 / (β0  + 1) = 1. Oleh karena itu mata resistansi input untuk rangkaian CB jauh lebih kecil daripada yang untuk rangkaian CE yang diberikan oleh β0/g. Kapasitansi input-nya adalah Ceb’ = Cb’e. Resistansi output untuk rangkaian CE timbul di antara kollektor dan emitter. Ini lebih tinggi daripada resistansi output CE dan dapat ditunjukkan diberikan oleh rCcb  = β0rCE. Karena.nilainya yang sangat tinggi, resistansi output dapat diabaikan bagi kebanyakan maksud praktis. Penguatan tegangan yang mengacu pada terminal e-b adalah:

Penguatan Daya yang Tersedia
Penguatan daya tinggi tersedia diperlukan untu mempertahankan factor noise redah dengan amplifier cascade. Ratio dari penguatan daya yang tersedia adalah:
Ini menunjukkan bahwa penguatan daya tersedia untuk amplifier CE lebih besar daripada amplifier CB. Oleh sebab itu, maka amplifier CE lebih disukai untuk tahap masukan pesawat sederhana low-noise. Hendaknya diperhatikan bahwa sebab pokok dari penguatan daya lebih rendah dari amplifier CB adalah rendahnya resistansi input, yang 1/β0 kali lipat dari yang ada pada amplifier CE.

Amplifier Cascode
Amplifier cascode merupakan kombinasi antara amplifier common-emitter dan common-base untuk membentuk sebuah unit amplifier yang mempunyai penguatan daya tinggi dan stabil. Input resistansi tahap CB adalah rBE. Maka secara keseluruhan amplifier cascode memiliki ciri kinerja yang serupa dengan yang dimiliki oleh amplifier CE tetapi dengan kestabilan, dan karena itu penguatan tegangan tersedia tinggi.

Rangkaian Ekivalen Hybrida-π untuk FET
Field Effect Transistor (FET) lebih sederhana dari bipolar junction transistor (BJT) karena sangat tingginya impedansi input yang diberikan oleh gerbang control. Eksternal terminal pada FET diberi label G untuk gate (gerbang), S untuk source (sumber), dan D untuk drain (pembuangan). Analisis rangkaian yang memanfaatkan FET berlangsung dengan cara yang menyerupai cara BJT yang menggunakan rangkaian ekivalen hybrid-π.

Rangkaian Pencampur (Mixer)
Mixer digunakan untuk mengubah sinyal dari satu frekuensi ke frekuensi lain. Istilah mixer uumnya dicadangkan untuk rangkaian yang mengubah sinyal frekuensi radio ke suatu nilai madya (yang dikenal sebagai intermediate frequency atau IF) dan yang memerlukan masukan dari sebuah osilator local untuk melakukannya.

Beberapa tipe mixer tersedia dalam bentuk unit paket, dengan masukan ports yang berlabel RF dan LO dan output berlabel IF. Dalam aplikasi penerma tertentu rangkaian osilatornya merupakan bagian tak terpisahkan dari rangkaian mixer, dan hanya masukan RF dan output IF sajalah yang siap untuk dapat dikenali. Semua rangkaian mixer memanfaatkan kenyataan bahwa apabila dua sinyal sinusoidal dikalikan bersama, hasilnya terdiri atas komponen frekuensi yang dijumlahkan dan yang dikurangkan atau selisihnya.
Read more ...